EDITORIAL
Di tengah kebanggan atas keberhasilan suprlus stok beras nasional, masyarakat justru menghadapi kenyataan yang menyesakkan dada. Harga beras terus naik, merangkak melewati Harga Eceran Tertinggi (HET), standar pemerintah.
Data dari berbagai instansi menunjukkan lonjakan yang nyata dan terang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga rata-rata beras kualitas premium di penggilingan pada Januari 2025 telah mencapai Rp 13.112/kg.
Harga kemudian merangkak lagi, naik menjadi Rp 13.268/kg pada Juni 2025. Dengan kenaikan bulanan sebesar 2,05 persen.
Sementara itu, beras kualitas medium juga mengalami lonjakan menjadi Rp 12.869/kg, naik 2,33 persen hanya dalam satu bulan. Oleh karena itu, ini adalah sinyal kuat bahwa kenaikan harga berlangsung secara menyeluruh di semua kategori beras.
Data dari GoodStats yang bersumber dari BPS memperkuat temuan ini. Berdasarkan data itu, sepanjang periode 2022–2025, harga grosir beras meningkat tajam. Yaitu naik dari Rp 10.448/kg pada 2022 menjadi Rp 13.735/kg pada Mei 2025.
Dalam waktu hanya tiga tahun, lonjakan ini mencerminkan bukan hanya iklim dan musim panen yang mempengaruhi gejolak struktural harga.
Cadangan Besar tapi tidak Terdistribusi
Namun, yang paling mencengangkan adalah fakta bahwa stok beras saat ini justru melimpah. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim bahwa Indonesia memiliki cadangan beras sebesar 4 juta ton lebih. Katanya, jumlah ini adalah tertinggi dalam 23 tahun terakhir.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi membenarkan klaim di atas. Arief menyebutkan bahwa sebagian besar hasil panen telah masuk ke Bulog dan sisanya tersimpan di penggilingan.
Tapi stok yang menumpuk ini justru tidak serta-merta menurunkan harga di pasar, dan publik pantas bertanya: ada apa?
Seorang pengamat pertanian, Khudori dari AEPI, mengatakan bahwa memang beras sudah terus menumpuk di gudang. Lalu, pemerintah pun mengklaim bahwa itulah stok terbesar sepanjang sejarah. Tapi, kata Khudori, itu percuma karena harga di pasaran sudah melampaui HET.
Dalam pernyataan itu, ia menyoroti bahwa stok besar tak ada artinya jika tidak mendistribusikannya ke pasar. Pendistribusiannya harus melalui mekanisme operasi pasar yang aktif dan tepat sasaran, bukan melalui spekulan yang selama mengendalikan sehingga harga beras terus naik.
Berlindung di Balik Spekulasi Beras Oplosan
Salah satu spekulasi yang mengemuka adalah praktek pengoplosan beras. Beras medium dicampur sedemian rupa dan lalu dikemas ulang seolah-olah sebagai beras premium.
Praktik semacam ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga mengganggu struktur distribusi. Pada akhirnya, praktik ini akan menyebabkan kekosongan stok beras medium di pasar. Kekosongan beras seperti ini tidak lebih dari hanya kelangkaan semu.
Kondisi ini menunjukkan ketidakefisienan dalam rantai pasok. Ini merupakan kelemahan pengawasan dan intervensi negara dalam mengatur distribusi pangan utama seperti beras.
Masyarakat kelas bawah semakin terjepit. Pasar (harga) beras semakin dikuasai oleh mekanisme spekulatif dan manipulatif. Pemerintah yang bangga dengan suprlus beras, kehilangan guna dan manfaat.
Ini kontradiksi. Di lapangan, panen melimpah, stok penuh. Tetapi rakyat tetap membeli beras dengan harga mahal, di tengah berita tentang CBP atau surplus beras yang sudah tembus 4 juta ton.
Rakyat tidak butuh statistik yang menghibur. Yang mereka butuhkan adalah beras yang tersedia dan terjangkau. Pemerintah sebaiknya jangan menggoreng isu beras premium oplos hanya karena tidak ingin disalahkan dan dikritik.
Masyarakat Indonesia kehilangan kepercayaan terhadap teori Ekonomi klasik. Bahwa jika stok (jumlah barang) melampaui permintaan, harga akan turun. Beras banyak, tapi harganya mahal. Harga beras terus naik.
Pidato pemerintah bahwa kita bangga punya stok beras pemerintah yang tembus 4,2 juta ton, seperti panggang yang jauh dari api.