EDITORIAL
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis di Makassar, Jumat (8/8). Abdul Azis sedang mengikuti Rakernas Nasdem di Makassar saat penangkapan. Penangkapan ini merupakan buntut dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Sulawesi Tenggara dan Jakarta sehari sebelumnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengaku telah melakukan berbagai upaya pencegahan korupsi, seperti pengarahan kepada kepala daerah dan sistem monitoring bersama KPK. Namun, masih ada saja oknum yang melanggar.
Bahkan, presiden Prabowo Subianto melalui kementerian dalam negeri sudah membekali mereka sikap anti korupsi saat ikut Retreat di Magelang usai pelantikan. Ada juga dalam bentuk Raker. Dalam kampanye, Presiden Prabowo juga berjanji akan mengejar koruptor, sekalipun sampai sembunyi di Antartika atau di gurun pasir?
Pernyataan Menteri Tito di atas, dan pelakuan khusus (special treatment) oleh presiden di Magelang kepada mereka, mendekati nada-nada (tone) putus asa. Retreat di Magelang itu, serta Abolisi dan Amnesti untuk para koruptor baru-baru ini, mungkin itu yang menggoyahkan mental Menteri Tito merespon kabar KPK yang menangkap bupati Abdul Azis.
Politisi Partai Nasdem ini merupakan “pelari” tercepat di antara seluruh kepala daerah yang mengikuti pelantikan di Istana negara pada 20 Februari 2025. Ia yang paling cepat mencapai KPK karena dugaan korupsi. Jika semua yang cepat itu adalah prestasi, maka ini dapat juga disebut prestasi. Sebuah prestasi yang membuat Tito seperti putus asa.
Ada 552 kepala daerah yang sedang bertugas saat ini. KPK baru menangkap satu orang, yaitu Bupati Abdul Azis. Masih ada 551 yang menunggu kedatangan KPK sebagai tamu tak diundang. Sambil menjalankan tugas sebagai pemerintah, mereka terus belajar menghindari KPK tanpa harus berhenti korupsi.
Kepala daerah yang 551 ini harus berlari lebih cepat daripada kecepatan KPK mengejar. Tingkat keahliannya untuk menghilangkan hasil korupsi harus lebih tinggi daripada keahlian KPK untuk menemukan hasil korupsi.