Sialnya, pemerintah pusat pun tidak banyak memberi harapan. Alih-alih meredam ketegangan dengan kebijakan yang solutif, pemerintah malah lebih sering melontarkan pernyataan normatif. Dalam konteks kerusuhan, sikap diam seperti itu dipahami publik sebagai bentuk pembiaran.
Sementara rakyat tahu, akar masalah adalah kesenjangan ekonomi, perilaku arogan DPR, hingga kekerasan aparat masih berdiri kokoh tanpa pembenahan. Ini tentu bukan pembenaran terhadap kerusuhan dan perusakan. Gedung yang terbakar memang bisa dibangun kembali, tetapi kerusakan kepercayaan publik jauh lebih sulit dipulihkan.
Api di jalan hanyalah manifestasi amarah, bukan jawaban atas persoalan. Jika hanya dipadamkan dengan gas air mata dan barisan aparat, peredamannya pasti bersifat sementara, sementara bara ketidakadilan terus menggerogoti.
Untuk keluar dari lingkaran destruktif ini, dibutuhkan sinergi langkah konkret. Pertama, DPR harus menghentikan obsesi terhadap tunjangan. Sulit berharap rakyat percaya kepada wakilnya jika mereka justru sibuk menumpuk fasilitas.
Kedua, Polri harus melakukan reformasi nyata: aparat mesti tampil sebagai pelindung, bukan penebar trauma. Kekerasan harus dibalas dengan sanksi tegas, bukan disembunyikan di balik seragam.
Ketiga, pemerintah wajib memulihkan keadilan sosial, bukan sekadar dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata: menstabilkan harga kebutuhan pokok, melindungi pekerja informal seperti ojol, dan memastikan layanan publik yang bermartabat.
Masyarakat sipil juga punya peran penting. Dialog sosial dan gerakan publik harus diarahkan kembali ke jalan gagasan, bukan sekadar ledakan emosi. Hanya gerakan yang berangkat dari visi, ideologi, dan narasi yang jelas yang dapat menyalakan perubahan sistemik, bukan sekadar meninggalkan bara kerusuhan.
Api mungkin bisa membakar gedung, tetapi hanya gagasan yang dapat membakar kesadaran dan memaksa sistem berubah. Jika energi rakyat dialihkan menjadi gerakan intelektual yang terarah, penguasa tak lagi bisa bersembunyi di balik kursi empuk atau seragam aparat.