OPINI
Oleh: Dr. A. Hasdiansyah, M.Pd., M.A.
Gelombang demonstrasi yang melanda beberapa kota dalam beberapa hari terakhir kembali memperlihatkan wajah buram bangsa ini. Jalanan yang dipenuhi massa berujung ricuh. Gedung DPRD di Makassar hangus terbakar. Sejumlah kantor pemerintah dirusak, bahkan kendaraan ikut jadi sasaran amarah.
Di balik kobaran api, kita menyaksikan sesuatu yang jauh lebih serius: abu di hati rakyat yang telah lama menumpuk, kini ditiup angin ketidakadilan. Kemarahan itu jelas bukan lahir dalam ruang hampa. Ia meledak dari rentetan kebijakan dan sikap penguasa yang semakin kehilangan empati.
Ketika DPR secara vulgar mengusulkan penambahan tunjangan bagi anggotanya, publik hanya bisa mengernyit. Di tengah ekonomi rakyat yang seret, wakil mereka justru sibuk menambah kenyamanan hidupnya sendiri. Memang gaji pokok anggota DPR “hanya” Rp 4,2 juta per bulan. Tetapi tunjangan yang melekat bisa mencapai lebih dari Rp 60 juta—dari tunjangan kehormatan, komunikasi, rumah dinas, listrik, hingga perjalanan dinas (Tempo, 2024; Detik, 2024).
Ironinya, gedung yang seharusnya menjadi simbol aspirasi rakyat malah terasa seperti menara gading. Jarak antara rakyat dan wakilnya bukan sekadar angka survei kepercayaan, tapi jurang yang makin dalam.
Di sisi lain, brutalitas aparat kembali menorehkan luka. Seorang pengemudi ojek online menjadi korban tabrakan polisi, yang hanya menambah panjang daftar peristiwa kelam aparat melawan warga sipil. Bukannya melindungi, mereka justru kerap melukai. Alih-alih menegakkan hukum, aparat tampil sebagai mesin kekerasan yang mematikan simpati.