Tradisi Pacu Jalur Harus Jadi Kekuatan Diplomasi Budaya

Tradisi Pacu Jalur

Atraksi tarian Rayyan Arkan Dikha, atau akrab disapa Dhika pada Pacu Jalur, jadi viral hingga mancanegara (Dok. Foto. Kemenparekraf)

EDITORIAL

Di tengah gempuran konten global dan budaya populer yang serba instan, menyembulllah satu tarian unik dari atas arus Sungai Kuantan, Riau. Tarian itu tidak hanya membanggakan, tapi juga menyentuh dan menggerakkan kesadaran kolektif bangsa.

Seorang anak 11 tahun bernama Rayyan Arkan Dikha, atau Dhika, tampil menari di atas perahu panjang (masyarakat Riau menamakan JALUR), dalam tradisi Pacu Jalur. Aksinya viral.

Gaya tarinya yang penuh percaya diri itu, bukan hanya mencuri perhatian warga lokal. tapi juga para selebritas dan klub dunia seperti PSG, AC Milan, bahkan Neymar dan Steve Aoki. Sampai hari ini, selebriti dunia tersihir tarian Dhika ini.

Penyanyi Rapper Melly Mike, yang lagunya “Young Black and Rich” dipakai sebagai back-sound tarian Dhika, juga ikut gila-gilan. Melalui akunnya di Sosmed, ia mengaku usudah menyusun rencana datang manggung di sungai Kuantan pada Agustus bulan depan.

Dari tarian inilah lahir istilah “Boat Kid Aura Farming”. Istilah tersebut mengakar dari budaya Gen Z dan Alpha, lalu melekat pada ekspresi budaya tradisional yang berusia ratusan tahun.

Inilah titik temu yang langka antara tradisi dan algoritma, antara identitas lokal dan mesin viralitas global. Dari satu video berdurasi pendek, Tarian Dhika memperkenalkan Pacu Jalur sebagai warisan budaya Indonesia kepada dunia.

Popularitas Pacu Jalur Adalah Momentum Mahal

Popularitas tarian ini bukan kebetulan, bukan juga hal sepele. Dalam diplomasi budaya, momen semacam ini adalah “soft power” yang tak nilainya sangat tinggi.

Baca Juga  Kejagung RI: Permendikbud Nadiem Picu Korupsi Chromebook

Ketika dunia melihat Indonesia melalui aksi seorang bocah di atas perahu tradisional Jalur, mereka bukan hanya melihat tarian lucu. Mereka menyaksikan denyut kehidupan komunitas, sejarah lokal, dan keindahan nilai yang terjaga.

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan, patutlah memberi apresiasi atas respons cepat. Menteri Fadli Zon pun menyatakan akan mengusulkan Pacu Jalur ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia.

Langkah itu menjadi strategis dan sangat penting. Tapi ingat, langkah seperti itu hanya akan bermakna bila konsistensi melakukan pendampingan. Pemerintah mesti mendisain program seperti promosi lintas sektor, dukungan anggaran, riset akademik, serta penguatan kapasitas masyarakat pelestari tradisi.

Saat ini, tradisi Pacu Jalur sudah menjadikan festival tahunan. Hari-hari mendatang, ritual tradisi Pacu Jalur ini harus menjadi bagian dari kalender budaya nasional yang memberi dampak ekonomi, sosial, dan simbolik bagi masyarakat lokal.

Pacu Jalur Harus Jadi Suar Budaya Masyarakat Riau

Tantangannya selanjutnya adalah bagaimana menjaga esensi Pacu Jalur agar tidak larut dalam euforia sesaat. Budaya tradisional bukan hanya urusan tampilan, tapi menyangkut nilai-nilai, relasi sosial, dan spiritualitas komunitas yang melestarikannya.

Tidak banyak manfaatnya jika tradisi seperti Pacu Jalur itu hanya dieksploitasi sebagai konten. Ketika aspek visual seperti itu menjadi satu-satunya kekuatan (karena viral), maka kita berisiko kehilangan makna di balik tradisi itu sendiri.

Baca Juga  Jokowi Ingin Gabung PSI, Sahroni Sarankan Contohi Pak SBY Hidup Tenang Tidak Terlibat Politik

Karena itu, peran pendidikan budaya, dokumentasi, dan pewarisan nilai kepada generasi sekarang dan generasi mendatang menjadi sangat penting.

Tarian Dhika adalah wajah baru dari generasi yang siap membawa budaya ke era digital. Tapi ia dan komunitasnya tak boleh dibiarkan berjalan sendiri.

Negara tidak boleh hadir hanya sebagai penonton. Negara dan pemerintah harus hadir fasilitator, pelindung, sekaligus penggerak kekuatan budaya nasional di tengah persaingan global.

Pacu Jalur dan Jalan Budaya Indonesia ke Dunia

Kisah Kid on the Boat atau Aura Farming, bukanlah sekadar tentang seorang bocah yang menari di atas ujung haluan perahu Jalur. Ini adalah cerita tentang bagaimana budaya Indonesia masih hidup, dinamis, dan relevan di abad ke-21. Ini adalah bukti bahwa dari sungai-sungai kecil di pedalaman, suara Indonesia bisa menggema ke panggung dunia.

Kini saatnya kita semua—pemerintah, media, komunitas, dan publik—memastikan bahwa popularitas tarian ini bukan titik akhir, melainkan titik awal untuk melangkah lebih jauh. Sebab budaya bukan hanya apa yang leluhur wariskan kepada kita, tapi juga apa yang kita pilih untuk hidupkan bersama di masa depan secara terus menerus.

News