OPINI
Oleh: Ahmad Zaky Baikhuni, Zalmah Firyal Salsabila, dan Rahayu Lannastiti Ishar
Dalam ilmu politik, teori bukan sekadar wacana abstrak. Teori merupakan pedoman analisis untuk mengungkap motivasi kekuasaan di balik keputusan besar negara. Ada banyak teori dalam disiplin Ilmu Politik. Beberapa di antaranya telah menjadi teori politik untuk menganalisis berbagai fenomena, fakta, dan peristiwa politik dalam praktik kenegaraan, pemerintahan, dan demokrasi.
Teori-teori tersebut antara lain, Teori Pilihan Rasional dari James S. Coleman, Teori Konflik dari Jonathan H. Turner, dan konsep Demokrasi dari Rousseau hingga Keith Graham. Teori-teori tersebut akan kami terapkan pada paper. Tujuan papaer ini untuk memberikan perspektif penting dalam menelaah intervensi Indonesia di Timor Timur pada 1975–1976.
Ketiganya menyoroti bagaimana aktor politik mengambil keputusan berdasarkan kalkulasi kepentingan, dinamika konflik, dan pelanggaran atas prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Coleman menjelaskan bahwa individu (atau aktor politik) selalu bertindak untuk mencapai tujuan rasional berdasarkan preferensi yang mereka nilai penting. Dalam hal ini, rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto bertindak sebagai aktor rasional yang mempertimbangkan berbagai sumber daya dan hambatan sebelum memutuskan intervensi.
Sementara itu, Turner melihat konflik sebagai akibat dari distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Kekosongan kekuasaan pasca-dekolonisasi Portugal, serta ketidakseimbangan kekuatan antarfaksi di Timor Timur, telah menciptakan kondisi ideal bagi konflik terbuka.
Di sisi lain, Rousseau dan Graham menekankan bahwa hak menentukan nasib sendiri adalah fondasi demokrasi. Ketika intervensi militer menggantikan proses demokratis seperti referendum, maka negara telah mengkhianati prinsip kehendak umum.
Penerapan Teori pada Kasus Timor Timur
Bila menggunakan kacamata Coleman, keputusan intervensi Indonesia adalah hasil kalkulasi rasional yang kompleks. Pemerintah Soeharto ingin menjaga stabilitas regional dan menghalau kemungkinan berdirinya negara komunis baru di Asia Tenggara, terlebih setelah trauma G30S/PKI dan kekhawatiran domino effect pasca-Vietnam.
Indonesia dan sekutunya mempersepsi kelompok FRETLIN di Timor Leste sebagai ancaman ideologis. Di sisi lain, sumber daya militer Indonesia, dukungan diam-diam dari Amerika Serikat dan Australia, serta lemahnya posisi Portugal sebagai penjajah, telah menicptakan peluang emas bagi Jakarta (Indonesia). Lalu, intervensi militer pun dilakukan dengan narasi penyelamatan dan penyatuan bangsa serumpun.
Dari sisi teori konflik Turner, Timor Timur kala itu adalah panggung klasik ketimpangan kekuasaan. Munculnya partai-partai politik dengan ideologi yang bertentangan, yakni FRETILIN (pro-kemerdekaan, berhaluan kiri), UDT (moderatis), dan APODETI (pro-integrasi), menciptakan ketegangan struktural yang kemudian pecah menjadi konflik terbuka.
Tidak adanya otoritas pusat yang sah dan kuat, membuat wilayah ini rentan menjadi objek permainan geopolitik negara lain. Ketika FRETILIN memproklamasikan kemerdekaan secara sepihak, Indonesia meresponsnya dengan operasi militer atas nama anti-komunisme. Dunia internasional yang saat itu sedang terpolarisasi oleh Perang Dingin, lebih memilih diam.
Namun dari perspektif Rousseau dan Graham, tindakan Soeharto justru mencederai demokrasi. Rakyat Timor Timur tidak diberi ruang untuk menyatakan kehendak mereka secara bebas melalui referendum, sebagaimana prinsip self-determination yang dijunjung dalam sistem demokrasi modern.
Alih-alih menghormati kedaulatan rakyat, Indonesia membentuk “Majelis Rakyat” buatan untuk melegitimasi integrasi. Dalam praktiknya, operasi militer ini melanggar hak asasi manusia dan menutup ruang kebebasan sipil. Dua hal ini seharusnya menjadi fondasi sebuah pemerintahan yang demokratis.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, terlihat bahwa intervensi Indonesia di Timor Timur bukanlah tindakan spontan, melainkan keputusan politik yang rasional dari sudut pandang penguasa Orde Baru. Keputusan itu lahir dari kecemasan geopolitik, dinamika konflik domestik Timor Timur, dan lemahnya kekuatan kolonial Portugal.
Namun di balik kalkulasi itu, tersimpan pelanggaran serius terhadap nilai-nilai demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, dan hak asasi manusia. Opini ini bukan untuk menegaskan kompleksitas sejarah, tetapi sebagai pengingat bahwa keputusan politik yang “rasional” belum tentu “etis”.
Meninjau kembali kasus Timor Timur, yang sekarang bernama Timor Leste dengan pendekatan teori politik, dapat memberi kita pelajaran penting bahwa kekuasaan tanpa kendali moral dan akuntabilitas akan selalu melahirkan luka sejarah. Hingga kini, bayang-bayang itu masih belum sepenuhnya sirna dari ingatan kolektif bangsa.
=====
Artikiel Opini ini ditulis oleh Ahmad Zaky Baikhuni (ahmadzaky1225@gmail.com),Zalmah Firyal Salsabila (zlmhfryl12@gmail.com), danRahayu Lannastiti Ishar (rlannastiti19@gmail.com), yang ketiganya adalah mahasiswa program sarjana Fakultas Fisip, Universitas Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Opini ini adalah kiriman dari para penulis sendiri. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Berandaindonesia.com.