Amnesti dan Abolisi adalah Solusi Politik Level Rendah

Amnesti dan Abolisi

Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Lembong yang mendapatkan Amnesti dan Abolisi dari Presiden RI. (Dok. Foto: https://www.strategi.id/)

EDITORIAL

Hari-hari terakhir ini, publik Indonesia menjadi heboh oleh keluarnya keputusan pemberian Amnesti dan Abolisi oleh Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto. Ada kontroversi, pro-kontra, serta debat hukum dalam berbagai bentuk.

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada sekelompok orang atau individu karena tindak pidana yang dilakukannya. Hasto Kristiyanto mendapatkan amnesti itu, yang artinya bahwa ia menjalani hukuman pidana lalu mendapat pengampunan.

Hasto dihukum karena terbukti secara sah dan menyakinan melakukan perbuatan pidana. Dan karena itu, ia pun dihukum penjara 3 tahun 6 bulan penjara. Amnesti tidak menghapus atau menghilangkan predikat terpidana pada diri Hasto, sekalipun belum “in kracht van gewijsde”.

Penerimaan amnesti ini menutup peluang Hasto membuktikan bahwa dia tidak bersalah dalam perkaras suap untuk PAW Harun Masiku di DPR RI pada proses peradilan yang lebih tinggi. Setelah hakim menyampaikan vonis hukuman penjara 3 tahun 6 bulan, tidak ada kabar bahwa Hasto akan mengajukan banding. Dua kemungkinan, Hasto menerima putusan itu (incracht), atau ia belum memutuskan untuk mengajukan memori banding.

Amnesti dan Abolisi Tidak Hapus Kesalahan

Selamanya, zaman akan mengenang Hasto sebagai terpidana. Ia tidak bisa mengajukan banding, kasasi, atau PK untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Ia telah menerima dan merayakan pengampunan (Amnesti) itu. Hal yang sama juga terjadi pada Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Pengadilan negeri memvonis Lembong dengan hukuman pejara 4 tahun 6 bulan.

Tom Lembong mendapatkan Abolisi, yaitu pembebasan dari segala tuntutan hukum yang sedang berjalan. Pengadilan negeri (tingkat I) memvonis Lembong dengan hukuman penjara 4 tahun dan 6 bulan. Ia mengajukan banding ke pengadilan tinggi DKI. Sama dengan Hasto, Tom Lembong juga kehilangan peluang untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah melalui jalur pengadilan.

Negara memang tidak mengampuini Lembong, melainkan Abolisi hanya menghentikan langkah proses acara hukumnya. Abolisi itu memang menghentikan segala proses, namun tidak menghapus vonis bersalahnya yang terlanjur jadi dokumen vonis pidana. Berbeda jika Lembong mendapatkan rehabilitasi, yaitu negara memulihkan nama baik dan harkatnya karena semua vonis bersalah kepadanya terbukti salah, atau tidak benar.

Baca Juga  Pelantikan Hanura Sulsel Rampung, Andi Muhammad Agendakan Keliling Sulsel

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengeluarkan pengampunan dan penghentian perkara ini. Dalam sistem ketata-negaraan Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia memang memberi hak istimewa kepada jabatan presiden untuk mengeluarkan fasilitas seperti amnesti atau abolisi. Hal ini tertuang pada Pasal 14 UUD 1945 Pasal 1 dan pasal 2.

Presiden Prabowo memutar haluan kemudi kapal politiknya ke arah yang misterius. Kapal pemerintahannya melaju beputar melingkar, menjangkau semua residu Pemilu Legislatif dan Pilpres 2024. Kapalnya menjadi simpul jejaring. Terus berputar seperti motor Tong Edan di pasar malam. Ia menjadikan Amnesti dan Abolisi ini menjaring jaring perangkap.

Mungkin saja Presiden Prabowo dan Joko Widodo saat masih presiden, punya naluri politik yang sama. Prabowo mungkin melihat PDI Perjuangan dan Anies Baswedan sebagai penambah kekuatan Kabinet Merah Putih. Jika saja dalam perjalanan Kabinet Merah Putih ada yang seperti PDI Perjuangan saat kabinet Indonesia Maju sedang melaju, Prabowo sudah punya PDI Perjuangan sebagai pelapis.

Amnesti dan Abolisi sebagai Awal Persekongkolan

Jokowi menggunakan kabinetnya sebagai jaring penjinak potensi lawannya, sekaligus menjadi penguat lapisan pertahanan. Ia memasukkan Prabowo dan sistemnya ke dalam Kabinet Indonesia Maju. Entah bagaimana menempatkan dalam hukum kausalitas, apakah masuknya Prabowo dan sistemnya di Kabinet Indonesia Maju menyebabkan dominasi PDI Perjuangan menjadi peripheral.

Ataukah, Jokowi sudah mengetahui bahwa kepentingannya pada 2024 tidak akan sejalan dengan kepentingan PDI Perjuangan, partainya sendiri. Untuk mengurangi dampak perpecahan antara Jokowi dan PDI Perjuangan, maka Jokowi memasukkan Prabowo dan sistemnya ke dalam Kabinet Indonesia Maju.

Benar saja, sinyal perpecahan itu menemukan momentumnya, yakni Pilpres 2024. PDI Perjuangan mencapreskan Ganjar Pranowo. Sedangkan Jokowi berjalan bersama Prabowo. Untuk memperterang perpecahan ini, maka Hasto pun tampil di depan sebagai mocong senapan PDI Perjuangan.

Sementara Prabowo dan Jokowi makin menemukan kemistri. Kemistri inilah yang membuat muntahan peluru dari Hasto menjadi lebih banyak redam dan kulai. PDI Perjuangan yang sudah kadung keluar dari barisan Jokowi, kehilangan energi yang sangat signifikan.

Di Kabinet Indonesia Maju, Prabowo dan sistemnya menjadi penguat. Sementara di pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran, presiden Jokowi menjadi penguat. Selama momen inilah, Hasto menjadi bidak politik PDI Perjuangan yang akhirnya menjadi tumbal.

Baca Juga  Gibran Beri Tanggapan Roy Suryo Ziarah ke Makam Keluarganya

PDI Perjuangan hanya bisa menatap borgol di lengan Hasto, tanpa bisa berbuat lebih hebat seperti dulu. Presiden Prabowo mungkin menangkap bahwa ia bisa memanfaatkan momen penting ini. Sesuatu yang mirip proses jual dan beli, pun berlangsung. Hasto bebas, PDI Perjuangan dukung pemerintahan Prabowo (Tidak menyebut nama Gibran).

Lalu Tom Lembong? Sosok ini sebenarnya kurang lebih sama dengan korban pada medan tempur, apa yang disebut Collateral Damage. Lembong adalah korban yang tidak disengaja, akibat sampingan atau salah sasaran.

Lembong adalah korban dari capres Anies Baswedan yang menyebut Prabowo sebagai menteri dengan nilai 11 dari 100 pada Debat Pilpres 2024. Nilai itu sangat rendah. Nilai hina itu menampar wajah Prabowo dan timnya, sedang Lembong tersenyum bahagia.

Cawapres Prabowo, Gibran, bahkan beberapa kali menyebut nama Tom Lembong sebagai pelayan konsep dan data untuk Capres Anies Baswedan. Anies maupun Muhaimin sebagai cawapres Anies, kerap memberikan nilai negatif terhadap pembangunan yang dilakukan Jokowi sebagai presiden.

Amnesti dan Abolisi Pengganti Borgol

Terlepas dari itu semua, pemberian Amnesti dan Abolisi untuk kedua tokoh politisi ini, kurang lebihnya, ini adalah politik saling sandera. Ini adalah pengganti borgol, pengganti sel penjara. Lembong dan Hasto memang keluar dari penjara, namun tidak bisa memasuki kebebasan hakiki.

Yang tidak tersandra dalam drama Amnesti dan Abolisi ini adalah mereka yang berkhianat. Mereka-mereka itu adalah PDI Perjuangan, Hasto, Megawati, Presiden Prabowo, Thomas Lembong, Kabinet Merah Putih, Jokowi, Anies Baswedan.

Drama Amnesti dan Abolisi ini juga sekaligus menjauh perjuangan panjang bangsa Indonesia melawan korupsi. Perang melawan korupsi menjadi tidak berarti. Persekongkolan politiklah sebagai pemilik masa depan bangsa ini, bukan “bebas korupsi”.

Drama ini adalah solusi politik bagi penguasa, bukan solusi kesejahteraan bagi rakyat dan negeri. Ini solusi politik yang bercita rasa rendah.

Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Lembong. (Dok. Foto: https://www.strategi.id/)

News