EDITORIAL
Bukan netizen kalau tidak liar membuat narasi konspirasi. Netizen menengarahi harga beras yang terus melambung mahal itu akan bermuara pada Pemilu 2029. Sementara itu, pemerintah memang sedang bekerja keras memamerkan data-data surplus beras.
Pemerintah berulang kali meyakinkan publik bahwa stok beras nasional melimpah, suprlus, atau aman. Bahkan, kata pemerintah, stok itu mencapai 4,2 juta ton pada awal Juli 2025, angka tertinggi sejak era Bulog berdiri pada 1969.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat narasi ini. Produksi nasional beras Januari–Maret 2025 menembus 8,67 juta ton, naik 52% dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah memproyeksikan waktu itu bahwa produksi itu akan mencapai 18,76 juta ton hingga Juni.
Tapi bukan di situ persoalannya. Jika beras adalah angka-angka, rakyat pasti kenyang. Harga beras pasti tidak mahal. Semua tahu bahwa rakyat tidak makan data beras, rakyat butuh beras yang sebenarnya. Rakyat butuh fakta tentang beras yang terjangkau di pasar.
Stok beras bergerak ke atas, keberadaan beras di pasar bergerak ke bawah. Di tengah surplus beras yang diagung-agungkan itu, harga justru melambung tinggi.
Data BPS per Juni 2025 mencatat harga beras premium naik 2,05% (mtm) dan 2,84% (yoy). Untuk harga beras medium, meningkat 2,33% (mtm) dan 4,51% (yoy). Di beberapa daerah seperti Enrekang dan Bone, kelangkaan pasokan membuat harga melonjak lebih tajam.
Bulog amankan isi Gudang, bukan perut Rakyat
Mungkinkan ini merupakan anomali pasar. Stok besar hanya menumpuk di gudang Bulog atau penggilingan swasta. Berasnya tidak mengalir ke pasar. Lebih buruk lagi, ada dugaan bahwa sebagian pelaku menahan stok untuk menciptakan kelangkaan semu, agar mendapatkan harga jual yang harga lebih tinggi.
Distribusi beras tidak lancar, transparansi stok diragukan, dan kebijakan intervensi berjalan lamban. Inflasi harga beras di tengah surplus stok menjadi ironi, sekaligus tanda kegagalan tata kelola pangan, khususnya beras.
Bulog mengumumkan stok nasional cukup untuk menstabilkan harga. Namun fakta di lapangan berbeda. Harga beras naik di semua level, dari gudang penggilingan hingga kios pengecer.
Pemerintah sibuk menggelar konferensi pers yang menyajikan grafik panen yang menanjak dan stok beras yang melimpah. Pada saat yang sama, ibu-ibu rumah tangga di pasar harus menawar beras dengan harga yang kian jauh dari jangkauan.
Surplus Beras Bukan Keuntungan Petani dan Rakyat
Pemerintah memang menetapkan harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp 6.500/kg untuk gabah. Di atas kertas, itu menguntungkan petani.
Namun, petani penggarap dan buruh tani tetap berada di posisi lemah. Pendapatan mereka tidak sebanding dengan biaya produksi dan harga beras mahal yang harus mereka beli.
Di hilir, para pedagang besar dan penggilingan swasta menikmati margin tebal dari harga beras. Rantai distribusi beras yang semrawut memperbesar keuntungan mereka. Akibatnya, konsumen membayar mahal, petani penggarap tetap miskin, sementara stok beras menjadi sekadar angka statistik di laporan.
Kembalikan Beras kepada Rakyat
Tugas utama pemerintah adalah memastikan stok benar-benar hadir di pasar, bukan hanya di gudang atau di data statistik. Operasi pasar lebih penting daripada konferensi pers tentang data-data surplus beras.
Kebijakan pangan harus berpihak pada konsumen dan petani penggarap. Konsumen berhak mendapatkan harga wajar. Kebijakan ini juga harus melindungi hasil kerja keras petani kecil.
Tanpa keberpihakan yang jelas, surplus beras hanya akan menjadi retorika. Data surplus beras hanya mensejahterakan pejabat pemerintah, bukan mensejahterakan rakyat.
Negeri kita tidak kekurangan beras. Pejabat pemerintah yang tidak tulus mengurus beras untuk rakyat. Setiap butir beras harusnya sampai ke meja makan rakyat, bukan terhenti di gudang atau terperangkap dalam data statistik suprlus beras.
Beras itu urusan perut rakyat, bukan urusan Pemilu 2029.