Kepala Daerah Melukis di Atas Air

Ilustrasi Kepala Daerah

Ilustrasi Kepala Daerah melukis di atas air baskom. Ilustrasi by AI. (Dok: berandaindonesia.com)

Editorial

Kehadiran pemerintah dalam situasi normal mestinya dalam bentuk program. Bukan dalam bentuk pejabat ber-anjangsana. Masa-masa usai pelantikan, usai Retreat di Malang, kepala daerah ramai-ramai ber-anjang sana di pelosok-pelosok daerahnya. Mereka datang dalam berbagai bentuk dan cara.

Mereka berusaha keras menamai kegiatan anjangsana itu sebagai bentuk kepedulian sebagai pemimpin (daerah). Ada yang datang marah-marah di depan pasar tradisional, memarah-marahi sampah yang berserakan, serta mengomeli mobil-mobil yang parkir sembarang. Pernah juga ada wakil bupati yang pernah datang ke puskesmas di daerahnya berpura-pura sebagai pasien.

Ada juga kepala daerah yang menghardik warganya bertubi-tubi karena melanggar jalur lalulintas. Ada juga yang adu mulut dengan pedagang lapak yang bertenda di atas got dan bahu jalan. Ada juga kepala daerah, didampingi belasan pejabat eselon II dan III, serta puluhan staf. Ia datang memeriksa lemari penyimpanan makanan pada sebuah rumah warga di pemukiman. Ia datang tanpa sebab.

Mereka datang ke lokasi dengan memboyong kameramen, tim sosmed, dan lusinan wartawan. Dengan wajah kusut yang serius, mereka menumpahkan kekesalannya. Asisten, kadis, kabid, kasie, dan seterusnya, berbaris rapi mematung, memperhatikan kapala daerahnya menumpahkan kalimat-kalimat kesal. Tangan kiri dan kanannya silih berganti merentang lurus menunjuk ke berbagai arah, sesekali juga mengarah ke langit di atas.

Mereka tidak sadar, kedatangan mereka yang seperti itu adalah kedatangan seorang pejabat. Bukan pemerintah yang datang. Bukan kelembagaan yang datang. Ia, mereka, hanya datang untuk menulis atau melukis di atas air. Begitu pena tulisnya berlalu, air kembali rata dan tak ada bekas tulisan atau lukisan yang berjejak untuk dilihat.

Perhatikan saja, kedatangan mereka itu tidak membuat ruang-ruang kota menjadi tertib. Tidak menghasilkan solusi. Tidak menyelesaikan masalah. Ia hanya datang memerintahkan tanpa isi perintah. Dan, tak satu pun staf atau pejabat yang mengerti apa yang harus dilakukan setelah bosnya marah-marah di bawah jembatan, misalnya. Semua hanyut oleh arus konten di sosmed.

Pemerintah itu datang dengan program, sekali pun program datang tanpa disertai sosok kepala daerah seperti di atas. Contoh, parkiran di pekarangan pasar yang kacau dan semraut. Pemerintah itu datang membawa instrumen dari program, seperti marka lot parkir dan larangan parkir. Ada petugas yang jaga yang tersambung dengan kantor polisi setempat.

Ada sanksi bagi pelanggar yang diterapkan secara disiplin. Ada kelompok kerja yang menjadi penanggung jawab, dan ada anggaran yang disiapkan. Semua itu dimuali dengan perencanaan, dilaksanakan melalui pengorganisasian kerja, dan ada pengukuran (evaluasi) secara reguler.

Program yang seperti ini lebih diperlukan daripada kedatangan bupati, walikota, gubernur atau wakilnya, yang hanya datang melukis di atas air. Saat mereka tinggalkan titik, situasi kembali normal, yakni tidak ada yang peduli apa yang barus saja diomelkan kepala daerah itu. Tapi, tuntutan dan pesona konten sosmed juga sebuah realitas yang tidak gampang diabaikan kepala daerah.

News