Kotak-kotak Pendidikan: Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda

Ilustrasi Sekolah Rakyat

Ilustrasi Sekolah Rakyat dengan AI (Dok: berandaindonesia.com)

Penulis: Sofyan Basri

Pada era disrupsi eksistensial pada akhir-akhir ini; di tengah lautan propaganda dan kepongahan muka, ada yang selalu tersembunyi dalam sebuah kata yang amat memikat–pujian. Ini bahkan berlaku dalam segala dimensi, termasuk dalam pendidikan. Sebagai contoh, jargon-jargon yang kedengarannya sangat menjunjung asasi manusia “pendidikan untuk semua”.

Inilah yang kemudian melahirkan ide pendirian “sekolah rakyat” yang kemudian disambut dalam tepuk tangan panjang; seorang anak miskin bisa sekolah tanpa biaya.

Tapi mungkin kita perlu bertanya, sebagaimana seorang anak miskin mempertanyakan kemiskinannya dalam ruang sunyi; mengapa masih ada yang disebut rakyat, dan ada pula yang disebut unggulan?
***
Sekolah Garuda–atau apa pun namanya–seperti impian anak pejabat, tempat anak-anak dengan sepatu mahal dan bahasa Inggris yang lahir sebelum lidah mereka menyebut “ibu”. Sekolah yang dibangun dengan pagar tinggi, lapangan luas, dan kurikulum yang digadang-gadang internasional. Di dalamnya, harapan disematkan tinggi-tinggi. Tapi juga, dengan diam-diam, mereka menandai siapa yang “layak”.

Lalu datang Sekolah Rakyat. Dengan nama yang amat manis, seperti gula-gula. Ia datang seperti permen untuk menenangkan tangis anak kecil. Untuk meninabobokan rasa gelisah kita tentang keadilan. Diberi label “rakyat”, seolah itu sebuah kehormatan. Padahal, mungkin itu adalah nama halus dari “tidak punya pilihan lain”.

Jika berkaca pada sejarah pendidikan negeri ini, memang tak pernah sepenuhnya merdeka. Kita mewarisi sistem yang sudah sejak mula dikotakkan. Di masa kolonial, sekolah bukan untuk semua. Europeesche Lagere School untuk anak-anak Belanda dan priyayi, Hollandsch-Inlandsche School untuk bumiputera yang beruntung. Sisanya, belajar dari tanah, dari langit, dari hutan, dari laut, dan dari ayah dan ibunya sendiri yang tak pernah tahu alfabet.

Sistem itu kemudian diwariskan tanpa sadar. Ketika pendidikan kita merdeka secara hukum, ia tetap tak bebas secara struktur. Sistemnya masih membawa jejak siapa yang pantas duduk di kursi empuk, dan siapa yang cukup berdiri di belakang kelas.

Kotak-kotak dalam pendidikan lahir bukan semata karena keinginan untuk mencerdaskan. Ia lahir dari kecemasan watak kapitalisme; bahwa sistem hanya bisa bertahan bila selalu ada yang lebih. Sekolah unggulan adalah panggung untuk mereka yang mampu–dengan biaya, jaringan, atau warisan. Sedang sekolah rakyat adalah panggung untuk mereka yang harus puas karena diberi.

Watak kapitalisme itu pintar menyamar sebagai kebaikan. Ia tahu bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, ia harus tampak seperti penyelamat. Maka ia ciptakan sekolah-sekolah rakyat yang “gratis”, yang “humanis”, bahkan kadang “radikal”, tapi tetap dalam batas kendali. Seperti mainan yang diberikan pada anak kecil agar tak menangis saat lapar.

Karena itu, dalam kotak-kotak pendidikan ini, terdapat sebuah ironi sekaligus menggelikan. Mereka yang berwatak kapitalis itu– menguasai tanah, uang, dan pasar–justru paling piawai menjadi sosok yang paling sosialis. Membiayai sekolah rakyat, membangun yayasan pendidikan, bahkan ikut menulis buku tentang keadilan sosial. Tapi, itu hanya untuk memastikan tak ada yang mengubah sistem. Mereka ingin sekolah rakyat cukup baik untuk membuat orang miskin bisa membaca, tapi tidak cukup kuat untuk membuat mereka berpikir.

Maka kotak-kotak dalam pendidikan akan terus bekerja dalam dua wajah: satu wajah mewah di Sekolah Garuda, dan satu wajah iba di Sekolah Rakyat. Dua-duanya bukan tentang pendidikan. Tapi tentang mempertahankan struktur.

Dalam pendidikan kita harus bicara tanpa label. Sekolah bukan untuk rakyat. Sekolah bukan untuk unggulan. Sekolah adalah ruang hidup. Dan hidup seharusnya tidak punya kasta.

Mimpi paling besar dari pendidikan bukan mencetak pemenang olimpiade dengan ijasah dan sertifikat atau anak-anak dengan seragam mahal. Tapi menciptakan manusia yang bisa melihat dunia secara adil. Dan keadilan, seperti yang kita tahu, tak pernah butuh kotak-kotak. Ia hanya butuh keberanian dan kejujuran.[]

Opini
Sofyan Basri

Artikiel Opini ini ditulis oleh Sofyan Basri (sofyan@unm.ac.id), dosen pengajar pada Prodi Teknologi Pendidikan, FIP, Universitas Negeri Makassar (UNM). Sofyan juga menjabat Pemimpin Redaksi pada media ini. Opini ini adalah kiriman dari penulis sendiri. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Berandaindonesia.com.

News