Berandaindonesia.com, Jakarta–Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memamerkan komitmennya dalam menangani kasus korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO). Kejagung menampilkan uang tunai Rp 2 trilyun sebagian dari total Rp 11,8 trilyun di ruang lobi kantor Kejagung dan menyebut itu sebagai hasil sitaan. Sementara Wilmar Group sebut itu Titipan Uang Jaminan.
Kejagung sebut langkahnya meminta dan menyimpan uang jaminan itu sebagai bagian dari strategi hukum dalam proses Kasasi di Mahkamah Agung (MA), usai vonis bebas (onslag) di tingkat Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Uang tersebut ditampilkan dalam konferensi pers pada Selasa (17/6) di Gedung Bundar, Kejagung, dalam tumpukan rapi setinggi hampir 2 meter. Uang tunai yang diklaim hasil sitaan ini telah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 4 Juni 2025.
Total nilai uang tunai tersebut yang mencapai Rp 11,8 triliun. Uang tunai ini merupakan uang pengganti yang dituntut jaksa kepada lima korporasi, di antaranya, Wilmar Group, Musim Mas, dan Permata Hijau, atas dugaan kerugian negara akibat penyalahgunaan fasilitas ekspor CPO.
Dalam perkara ini, Direktorat Jampidsus Kejagung bertindak sebagai penuntut umum, dengan para korporasi di atas sebagai pihak terdakwa.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis bebas kelima korporasi di atas. Kejagung langsung merespon dengan menyatakan akan mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung (MA).
Untuk memperkuat memori kasasinya, Kejagung meminta izin kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta uang jaminan dari lima korporat itu, sesuai jumlah yang dituntutkan oleh Kejagung, yaitu Rp 11,8 trilyun.
Alasan lain kenapa Kejagung (jaksa penuntut) membutuhkan uang tunai itu, yakni untuk mencegah agar tidak terjadi pengalihan aset sebelum MA mengabulkan kasasi jaksa.
Tinjakan kejaksaan yang diklaim sebagai penyitaan ini, didasarkan pada ketentuan Pasal 38 dan 39 KUHAP, yang mengatur bahwa penyitaan bisa dilakukan untuk kepentingan pembuktian maupun sebagai pengganti kerugian negara, selama mendapatkan izin dari Pengadilan.
“Penyitaan tersebut dilakukan pada tingkat penuntutan dengan mendasarkan ketentuan Pasal 39 Ayat 1 huruf A juncto Pasal 38 Ayat 1 KUHAP untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi,” ujar Sutikno.
Titipan Uang Jaminan
Sebagaimana dikutip dari Info Sawit (www.infosawit.com) pada 18 Juni, lima anak perusahaan grup Wilmar resmi menempatkan dana jaminan senilai Rp 11,88 triliun (sekitar US$ 729 juta) dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Penempatan dana jaminan ini diumumkan seiring dengan konferensi pers yang digelar Kejaksaan Agung pada Selasa (17/6), yang memperlihatkan perkembangan terbaru dalam perkara hukum yang melibatkan lima entitas Wilmar, PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Kasus ini bermula pada awal April 2024 ketika Kejaksaan Agung menuduh lima perusahaan tersebut melakukan tindakan merugikan keuangan negara, memperoleh keuntungan tidak sah, serta mengganggu stabilitas sektor usaha dalam negeri, di tengah kelangkaan minyak goreng yang terjadi antara Juli hingga Desember 2021. Nilai kerugian negara yang diklaim Kejaksaan mencapai Rp 12,3 triliun (sekitar US$ 755 juta).
Dalam proses hukum sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan membebaskan para tergugat, namun Kejaksaan Agung tidak puas dan melanjutkan upaya hukum melalui kasasi ke Mahkamah Agung.
Sebagai bagian dari proses itu, para tergugat diminta menempatkan dana jaminan sebagai bentuk itikad baik dan keyakinan terhadap sistem peradilan di Indonesia.
“Dana jaminan sebesar Rp 11,88 triliun mencerminkan sebagian dari dugaan kerugian negara dan keuntungan tidak sah yang dituduhkan, Kami telah menyetorkan dana tersebut sesuai permintaan (permohonan kejaksaan–red),” demikian disampaikan dalam pernyataan resmi diterima InfoSAWIT, Rabu (18/6).
Pihak Wilmar menegaskan bahwa seluruh tindakan yang dilakukan kelima anak perusahaannya dalam ekspor minyak goreng selama periode tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku saat itu.
Perusahaan juga menekankan bahwa langkah (titip uang jaminan–red) ini bukanlah pengakuan bersalah, melainkan bentuk komitmen untuk mengikuti proses hukum yang berlaku di Indonesia.
“Jika Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka dana jaminan ini akan dikembalikan kepada Wilmar,” lanjut pernyataan pihak Wilmar Grup tersebut.
“Namun sebaliknya, dana tersebut dapat disita sebagian atau seluruhnya jika Mahkamah Agung memutuskan sebaliknya.”
Pihak Wilmar menyatakan tetap kooperatif dan optimistis menghadapi proses hukum selanjutnya. Pihaknya tetap berpegang pada prinsip bahwa seluruh kegiatan dilakukan dengan itikad baik dan tanpa niat untuk melakukan korupsi.