Pemecatan Ribuan Honorer Bisa Jadi Horor

PNS Dipecat

Ilustrasi PNS/ASN dipecat. (Dok: berandaindonesia.com)

Editorial

Pemecatan 2.017 pegawai honorer oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah situasi yang kompleks. Tindakan ini terpaksa karena tekanan regulasi pusat (misalnya penghapusan status honorer oleh pemerintah pusat pada 2025), selain juga karena keterbatasan anggaran daerah, dan tuntutan efisiensi birokrasi.

Tidak banyak solusi yang tersedia. Pemprov Sulsel sudah mendorong mereka untuk mengikuti seleksi ASN (CPNS) dan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Mereka gagal di persayaratan umur, tingkat pendidikan, dan juga nilai tesnya tidak mencukupi. Mereka kalah bersaing dengan peserta yang punya sekolahan yang bagus.

Upaya pemprov memberi kesempatan honorer yang memenuhi syarat untuk tetap mengabdi adalah ide yang sangat mentah. Pemprov melobi pemerintah pusat agar kuota formasi PPPK diperbesar, bukan pekerjaan gampang bagi kepala daerah yang malas berusaha.

Pemprov juga bisa menjalin kerja sama dengan BUMD atau swasta untuk menyalurkan eks-honorer sebagai tenaga kontrak profesional. Tapi PDAM Makassar sudah memberi contoh, malah sedang memecat 400an pegawainya.

Ada juga saran agar Pemprov mengevaluasi ulang anggaran agar sebagian belanja non-prioritas bisa dialihkan untuk mempertahankan sebagian pegawai honorer yang esensial. Pertanyaanya, apakah pejabat pemprov Sulsel rela perjalanan dinasnya dikurangi? Biaya makan minum di rumah dinas dikurangi? Apakah kontraktor rela proyek fisik dikurangi?

Presiden RI saat sedang mencanangkan Koperasi Merah Putih, sampai 80 ribu unit di seluruh Indonesia. Tapi tidak ada kabar bahwa koperasi itu akan menampung para honorer pecatan ini.

Kolaborasi dengan dunia usaha atau universitas untuk menciptakan lapangan kerja baru yang dapat menampung pencatan honorer itu, masih sebatas bait lagu yang belum pernah dinyayikan.

Ada juga mendirikan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) untuk Menampung Tenaga Honorer. Sektor yang paling memungkinkan adalah kesehatan dan pendidikan, dapat merekrut pegawai non-PNS dengan pola keuangan yang lebih fleksibel. Honorer bisa tetap bekerja meskipun bukan ASN, dan gaji bisa berasal dari pendapatan BLUD.

Sudah anyak rumah sakit daerah (RSUD) dan puskesmas kini memakai pola BLUD untuk mempertahankan tenaga medis non-ASN. Tapi meminta persetujuan DPRD untuk ide seperti ini, kerap kandas. Karena, anggota dewan juga banyak keluarkan duit saat kampanye, dan mereka juga harus carikan pekerjaan tim suksesnya.

Pemecatan 2.017 pegawai honorer oleh Pemprov Sulsel yang tanpa strategi transisi yang matang, bisa menimbulkan dampak negatif. Dampak ini meliputi aspek sosial, ekonomi, birokrasi, hingga politik.

Dampak sosialnya bisa berupa pengangguran mendadak. Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan tetap dalam sekejap. Yang sangat miris adalah mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun tanpa tabungan atau alternatif kerja.

Ketidakstabilan sosial di tingkat lokal juga menanti. Pemecatan itu bisa memicu keresahan sosial, merusak martabat pekerja. Mereka bisa merasa dicampakkan dan dikhianati oleh negara atau pemda.

Dampak Ekonominya adalah daya beli masyarakat menurun. Kemiskinan baru meningkat. Padahal, mereka itu menjadi tulang punggung keluarga besar selama ini. Daya beli menurun, ikut juga membuat lesu warung-warung kecil yang di sektor informal.

Jika tidak ditangani dengan baik, pemecatan honorer ini bisa memicu krisis kepercayaan jangka panjang terhadap pemerintah (daerah). Sikap anti pemerintah mendapatkan ruang.

Pemecatan massal tanpa solusi seperti di atas adalah keputusan berisiko tinggi. Itu tidak hanya merugikan individu yang dipecat, tapi juga membahayakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik daerah. Ini akan menjadi horor bagi pemerintah (pemerintahan secara luas). Kriminalitas menanti dengan pasti di depan.

News