Editorial
Sejak Iran ber-Revolusi menjadi negara Islam tahun 1979, negeri para Mullah ini tidak pernah menyerang satu pun negara lain. Dalam catatan sejarah, justeru negara lain yang selalu menyerang Iran.
Dalam berbagai kesempatan, menteri luar negeri Iran Abbas Araghchi selalu menegaskan, Iran akan berhenti membalas jika negaranya berhenti diserang.
Benar, ketika Iraq berhenti serang Iran pada perang Iran-Iraq (1980-1988), Iran juga mengehentikan aksi militer balasannya di sepanjang perbatasan dengan Iraq. Terlepas bahwa keduanya juga sudah lelah delapan tahun bertempur.
Pada April 2024, Iran juga melancarkan serangan balasan ke Tel Aviv setelah Israel melancarkan serangan udara ke gedung kedutaan besar Iran di Damaskus, Suriah. Sejumlah diplomat dan pejabat tinggi sipil dan militer Iran terbunuh.
Waktu itu, Iran memberi kesempatan kepada Israel mempersiapkan diri menerima serangan (hukuman) yang bersandi “Operation True Promise” (Operasi Janji Sejati). Serangan itu adalah hukuman (janji Iran menghukum) kepada Israel.
Dan, Iran menepati janjinya. Ratusan rudal menghujani langit Israel, terutama kota Tel Aviv. Sebagian menembus pertahanan udara Israel, Iron Dome.
Amerika Serikat (AS) membujuk Israel tidak membalas serangan balasan itu. Padahal memang Iran menegaskan kepada Israel agar tidak membalas, jika tidak ingin mendapatkan balasan selanjutnya yang lebih buruk.
Terbaru, Iran melancarkan serangan terhadap pangkalan Udara Al Udeid yang merupakan basis pasukan Amerika Serikat di Qatar, Senin (23/6). 23 Juni 2025. Serangan itu diluncurkan sebagai balasan setelah AS terhadap tiga situs nuklir Iran sehari sebelumnya.
Tanpa persetujuan Iran sekalipun dan tanpa AS (inisiator gencatan senjata perang Iran-Israel), perang akan berhenti dengan sendirinya jika Israel dan AS berhenti menyerang Iran.
Bahkan setelah Donald Trump umumkan gencatan senjata, rudal-rudal Iran masih mendarat di wilayah Israel selatan, Be’er Sheva, karena jet-jet tempur Israel terdeteksi memasuki lagi wilayah Iran. Jet-jet Israel itu membawa misi tempur.
Konteks besar konflik ini adalah Iran hanya membela diri, mempertahankan diri dari serangan negara-negara lain. AS dan Israel dipaksa oleh ulahnya sendiri menawarkan gencatan senjata ke Iran.
Tidak ada manfaat yang diperoleh oleh Israel dan AS dalam serangan militernya ke Iran. Iran juga tidak melemah akibat serangan itu. Agar AS dan Israel tidak kehilangan pamor dan dominiasi, maka mereka menawarkan gencatan senjata.
Di sinilah lucunya, penyerang menawarkan gencatan senjata. Iran yang diserang, diminta berhenti membela diri. Yang memulai agresi menawarkan perdamaian. Logika bodoh dari negara-negara Eropa pun lebih parah karena sebut Israel punya hak membela diri.
AS dan negara-negara Barat lupa bahwa batas tertinggi kebodohan itu tidak akan pernah mereka bisa mencapainya. Selamanya, Iran akan dibenarkan sebagai pihak korban agreasi AS dan Israel.[]