Kebijakan Barak Militer untuk Anak Bermasalah: Antara Disiplin dan Kontroversi

Kebijakan Barak Militer

Sejumlah siswa berjalan memasuki barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). (Dok. Foto: Antara/Abdan Syakura/bar)

Opini

Penulis: Kaira Rezqita, Adhe Sabilla Noerchoirmanta, dan Afreza Choirul Anam

Jumat, 2 Mei 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengumumkan sebuah kebijakan yang langsung mencuri perhatian publik. Bukan karena keunggulannya, melainkan karena sifatnya yang kontroversial: pengiriman anak-anak bermasalah ke barak militer.

Program ini ditujukan untuk anak-anak yang dinilai menyimpang dari norma sosial, mulai dari yang sering tawuran, kecanduan game, hingga membangkangan kepada orang tua. Seperti bom yang meledak di media sosial, kebijakan ini langsung viral dan memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat.

Kebijakan ini tidak muncul dari ruang hampa. Di balik keputusan kontroversial tersebut, terdapat kekhawatiran mendalam tentang krisis moral anak-anak di era digital, dimana orang tua merasa kehilangan kendali terhadap anak mereka yang semakin terpapar pengaruh negatif teknologi dan lingkungan sosial.

Dengan keyakinan penuh, Dedi Mulyadi menawarkan solusi yang menurutnya cepat dan tegas melalui program pembinaan selama enam bulan di lingkungan semi-militer. Solusi ini diharapkan dapat menanamkan kedisiplinan yang hilang pada generasi muda. Ia mengklaim telah mengantongi dukungan dari TNI, Polri, para kepala sekolah, dan mayoritas orang tua siswa.

Tanggapan terhadap program ini terbagi dua. Di satu sisi, media sosial dibanjiri komentar yang menyambut baik program ini sebagai “shock therapy” yang tepat untuk generasi yang dianggap kehilangan arah. Banyak orang tua yang merasa frustrasi dengan perilaku anak mereka melihat program ini sebagai angin segar, sebuah solusi yang tegas untuk masalah yang sudah lama menggelisahkan. Namun di sisi lain, tidak semua pihak sepakat.

Komnas HAM dan sejumlah wali murid mengkritik keras kebijakan ini. Mereka menganggap program ini berpotensi melanggar hak anak, menimbulkan trauma psikologis, dan yang lebih berbahaya lagi menormalisasi kekerasan dalam pendidikan.

Dari sudut pandang teori konflik, pendekatan ini memperlihatkan adanya kekerasan struktural dan kultural yang mengakar dalam sistem sosial. Ketika sistem pendidikan, layanan konseling, atau solusi berbasis komunitas tidak tersedia atau tidak terjangkau, pengiriman ke barak militer menjadi satu-satunya pilihan, khususnya bagi keluarga dari kelas ekonomi bawah.

Baca Juga  Kepala Daerah Melukis di Atas Air

Hal ini memperkuat gagasan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga melembaga dalam kebijakan publik yang tidak adil. Budaya yang memuja kedisiplinan keras sebagai solusi juga memperkuat kekerasan kultural dalam masyarakat, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Sementara itu, dari perspektif teori kekuasaan yang dikemukakan oleh Max Weber, Dedi Mulyadi menggunakan otoritas legal-rasionalnya sebagai gubernur untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan tersebut. Ia memiliki legitimasi hukum berdasarkan jabatan yang diperolehnya melalui pemilu demokratis.

Namun, seperti yang dikatakan Weber, kekuasaan yang sah secara hukum belum tentu sah secara sosial. Ketika masyarakat, terutama lembaga seperti Komnas HAM, mulai mempertanyakan moralitas dan kemanusiaan kebijakan tersebut, legitimasi kekuasaan itu bisa melemah dan menimbulkan perlawanan yang semakin menguat.

Melalui lensa teori pilihan rasional, kebijakan ini tampak sebagai hasil kalkulasi politik yang matang. Dedi Mulyadi terlihat memanfaatkan momen untuk membangun citra sebagai pemimpin yang solutif dan tegas. Dengan mengemas program ini sebagai “pembentukan karakter” dan bukan hukuman, ia berhasil meraih simpati dari sebagian besar orang tua sekaligus memperkuat relasinya dengan institusi militer.

Program ini juga membuka peluang untuk memperbaiki citra militer di mata masyarakat. Peluang ini juga sekaligus meningkatkan popularitas politiknya menjelang pemilu mendatang.

Namun, semua ini tidak datang tanpa biaya. Anggaran sebesar Rp 6 miliar yang digunakan untuk program ini bahkan belum mendapat pembahasan resmi dengan DPRD Jawa Barat. Inilah memunculkan pertanyaan serius tentang transparansi anggaran publik dan proses pengambilan keputusan yang demokratis.

Menariknya, DPRD Jawa Barat akhirnya tidak menghentikan program ini. Sebaliknya, mereka justru mendorong agar program pembinaan karakter dijadikan bagian dari Muatan Lokal dalam kurikulum pendidikan. Langkah ini menunjukkan upaya kompromi untuk tetap menjaga esensi pembinaan karakter tanpa pendekatan yang terlalu militeristik dan koersif.

Dengan demikian, polemik ini memperlihatkan bagaimana konflik sosial, kekuasaan negara, dan kepentingan politik saling berkelindan dalam proses kebijakan publik. Suatu proses yang kemudian menciptakan dinamika yang kompleks dan sulit diprediksi.

Baca Juga  Iran dan Israel Saling Serang, Negara-negara Arab Bingung Berpihak

Kebijakan pengiriman anak bermasalah ke barak militer mencerminkan dilema mendasar dalam tata kelola pemerintahan, yakni antara kebutuhan akan solusi cepat terhadap krisis sosial dan tuntutan akan kebijakan yang berbasis hak asasi manusia. Di satu sisi, pendekatan ini dapat dianggap progresif karena menawarkan jawaban atas keresahan masyarakat yang sudah lama mencari solusi atas krisis moral generasi muda.

Namun di sisi lain, tanpa pengawasan dan kepekaan terhadap nilai kemanusiaan, kebijakan ini bisa menjadi alat represi. Bahkan kebijakan ini justru dapat memperburuk keadaan dan menciptakan trauma berkepanjangan bagi anak-anak yang menjadi sasaran program.

Polemik ini memperlihatkan bagaimana konflik sosial, kekuasaan negara, dan kepentingan politik saling berkelindan dalam proses kebijakan publik. Masyarakat dan pemerintah daerah perlu mengevaluasi ulang pendekatan-pendekatan seperti ini, agar tidak sekadar efektif secara jangka pendek, tetapi juga berkelanjutan dan manusiawi dalam jangka panjang.

Kebijakan barak militer untuk anak bermasalah di Jawa Barat bukan hanya sekadar program pembinaan karakter. Tetapi itu juga merupakan cerminan dari kompleksitas persoalan sosial di era modern, dimana solusi cepat sering kali berbenturan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Pertanyaan yang tersisa adalah apakah kita sebagai masyarakat siap mengorbankan hak-hak fundamental anak demi kedisiplinan yang dipaksakan? Atau, masih adakah ruang untuk mencari alternatif yang lebih humanis namun tetap efektif?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya akan menentukan nasib anak-anak yang terlibat dalam program ini, tetapi juga masa depan pendekatan kita terhadap pembinaan karakter generasi muda Indonesia.

===

Artikiel Opini ini ditulis oleh Kaira Rezqita (kairare29@gmail.com), Adhe Sabilla Noerchoirmanta (iboyade5@gmail.com), dan Afreza Choirul Anam (afrezachoirulanam@gmail.com), yang ketiganya adalah mahasiswa program sarjana Fakultas Fisip, Universitas Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Opini ini adalah kiriman dari penulis sendiri. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Berandaindonesia.com.

News