Iran dan Israel Saling Serang, Negara-negara Arab Bingung Berpihak

Perang Iran dan Israel

Ilustrasi bendera Iran dan Israel saling piting. Ilustrasi by AI. (Dok: berandaindonesia.com

Editorial

Jumat 13 Juni, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke beberapa situs penting di wilayah Republik Islam Iran, fasilitas nuklir, militer dan kawasan pemukiman. Berbagai pihak, termasuk pihak independen telah mengkofirmasi adanya kerusakan signifikan akibat serangan tersebut.

Iran pun merespon serangan itu. Ratusan drone kamikaze dan rudal balistik Iran menghujani kota Tel Aviv dan Haifah (kota perdagangan). Meskipun Tel Aviv menganggap serangan balasan Iran itu berlebihan, namun pihaknya puas karena dipastikan Iran tidak akan bisa melanjutkan lagi program nuklirnya, seperti yang dialami oleh Irak tahun 1982 setelah dihancurkan oleh angkatan udara Israel.

Sebelum Revolusi Islam Iran pecah 1979, Iran dan Israel adalah negara kembar tapi tiri. Keduanya adalah anak tiri Amerika Serikat di Timur Tengah. Iran adalah negara monarki non-Arab yang dipimpin raja Mohammad Reza Pahlavi yang sangat dekat dengan Washington. Sementara Israel adalah negara satelit Amerika Serikat yang paling berani menantang superioritas bangsa Arab di Timur Tengah.

Pasca Revolusi Islam Iran yang menggulingkan Raja Reza Pahlavi yang merupakan boneka Washington, ketegangan antara Iran dan Israel pun terjadi. Ketegangan ini bermula usai revolusi Islam Iran, dimana Iran berjanji akan menghapuskan Israel dari peta Bumi. Israel meyakini misi Iran ini nyata adanya setelah milisi dan para militer pro Iran berkembang pesat di Lebanon, Suriah, dan Palestina selama 1980-an. Yang paling menonjol adalah Hizbullah di Lebanon. Kehadiran proxy Iran ini dilihat oleh Israel sebagai ancaman keamanan.

Negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah dan Teluk hanya mengambil posisi sebagai penontoh yang menyimak serius ketegangan antara Iran dan Israel ini. Sejak Israel berdiri 1948, negara-negara Arab terus memberikan tekanan militer terhadap Israel yang mereka anggap sebagai negara pendudukan terhadap wilayah bangsa Arab. Mesir dan Yordania adalah dua negara Arab yang takluk dari Israel setelah beberapa kali peperangan antara negara-negara Arab dan Israel.

Terhadap Iran, negara-negara Arab di Timur Tengah yang beraliran Sunni, melihat Iran yang beraliran Shiah sebagai ancaman. Negara-negara Arab yang sebagian besar masih monarki, cemas Iran mengekspor Revolusi Islam ke negeri mereka. Kecemasan itulah yang mengantar Iraq bentrok senjata dengan Iran selama sembilan tahun (1980-1988).

Terbaru, 2024 lalu, Iran melancarkan lebih seribu rudal dan drone ke wilayah Israel. Serangan Iran itu adalah balasan setelah angkatan udara Israel menyerang kedutaan besar Iran di Damaskus, Suriah. Serangan itu menewaskan beberapa pejabat elit penting Iran. Tel Aviv berdalih bahwa lokasi itu sering dijadikan pusat komando terhadap milisi-milisi pro Iran di Suriah dan Lebanon.

Amerika Serikat dan Eropa berhasil membujuk Israel agar tidak membalas serangan Iran tersebut. Sejak itu, Iran terus siaga jika Israel tiba-tiba melancarkan serangan balasan tanpa perlu berkoordinasi dengan Amerika Serikat-nya dan Barat. Sejak itu pula, beberapa ledakan di instalasi dan pelabuhan minyak Iran di teluk Persia yang meledak sejak serangan rudal itu, dianggap sebagai sabotase dari Israel. Iran hanya besumpah akan membalas.

Begitu juga, Sabtu 7 Juni tahun ini, stasiun televisi Pemerintah Iran sebagaimana dikutip oleh AFP menyebutkan pemerintahan Iran telah berhasil memiliki ribuan dokumen dari intelijen Israel yang berisi informasi mendalam dalam bentuk tertulis, gambar dan rekaman video tentang fasilitas nuklir serta rencana pertahanan negara Israel. Namun Teheran dan Tel Aviv belum mengomentari klaim di media pemerintah Iran ini.

Ada dua tuduhan Israel kepada Iran yang membuat ketegangan dua negara ini tidak pernah reda. Pertama, Israel sering direpotkan oleh serangan tidak langsung maupun langsung oleh kelompok-kelompok militan yang disebut merupakan proxy pemerintahan revolusioner Iran. Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, Pemerintahan Presiden Basaar Al Asaad di Suriah, pemberontak Houthi di Yaman.

Tuduhan kedua, Israel meyakini Iran sedang mengembangkan pengayaan uranium untuk Nuklir, untuk tujuan militer. Iran membenarkan pengayaan uranium itu namun membantah kalau itu untuk kepentingan militer, yakni senjata nuklir. Pihak Iran mengakui semata-mata untuk tujuan energi terbarukan, kepentingan riset kesehatan. Intinya, Iran membela diri bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai.

Soal program Nuklir ini, Iran selalu membuka diri untuk diaudit oleh badan Atom Internasional IAEA. Namun, Iran ingin IAEA bekerja independen, tidak diboncengi oleh kepentingan Amerika Serikat. IAEA tidak menjadi alat bagi Amerika Serikat untuk mengobservasi (mengintip) program pertahanan militer Iran yang bersifat rahasia.

Kebuntuan observasi internasional (IAEA) terhadap fasilitas nuklir Iran, membuat negeri para Mullah ini dihujani berbagai macam sanksi ekonomi dan embargo teknologi dan militer, baik oleh Barat dan Amerika Serikat, maupun oleh negara-negara yang berafiliasi dengan kepentingan Barat dan Amerika Serikat. Namun hal ini tidak membuat Iran menghentikan langkahnya dalam program nuklir tersebut.

Di era Presiden Barrac Obama, Iran membuka diri untuk berunding dengan Amerika Serikat sekaitan dengan program nuklir tersebut. Dalam hal ini, Amerika Serikat berdiri lebih di depan daripada IAEA berhadapan dengan Iran. Namun, putaran perundingan mengalami pasang surut.

Angin segar tentang kelanjutan perundingan ini berhembus kembali dua bulan lalu setelah Washington dan Teheran mencapai kesepakatan tetang beberapa tahapan protokol perundingan. Namun, blok Eropa tidak senang dengan negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat ini. Itulah sebabnya, kaki meja perundingan nuklir Amerika Serikat dan Iran ini menjadi pincang. Tidak menghasilkan tahapan dan jadwal yang bisa menjadi pegangan.

Tapi, dibalik hembusan angin segar itu, ada Tel Aviv yang tidak sabar menunggu hasil kerja Washington terhadap program nuklir Iran. Menyusul kebuntuan yang kembali terjadi dalam perundingan Nuklir antara Iran dan Amerika Serikat dalam dua pekan terakhir, pemerintahan Presiden Donald Trump mengevakuasi pejabat-pejabat pentingnya di kantor-kantor perwakilannya di Iraq, Quwait, Bahrain, Qatar dan Arab Saudi paling lambat 12 Juni.

Lalu, Jumat 13 Juni, Tel Aviv melancarkan serangan udara ke sejumlah situs dan instalasi nuklir Iran. Tel Aviv berujar bahwa Washington melakukannya selama bertahun-tahun, sementara kami hanya menghabiskan waktu 30 menit pada hari Jumat itu. Teheran dan berbagai wilayah Iran pun terbakar dan rusak.

Usai hancurkan fasilitas Nuklir Iran, Tel Aviv mendeklarasikan diri sebagai pelindung Eropa dari ancaman serangan senjata Nuklir Iran. Sudah tekad Israel bahwa dirinya satu-satunya negara yang boleh memiliki senjata nuklir di kawasan Timur Tengah. Dan, aku Israel, kepemilikan itu hanya melindungi diri.

News