Berandaindonesia.com, Jakarta–Di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kita berdiri di buritan waktu, memandang ke belakang, menggali makna dari perjalanan samudera demokrasi Indonesia yang telah dilalui selama dua periode. Seperti potongan-potongan puzzle yang harus disusun satu per satu, kisah kepemimpinan Jokowi adalah sebuah mozaik yang penuh warna—tidak hanya dalam kemajuan, tetapi juga dalam kontradiksi. Kini, di ujung waktu ini, kita menatap senja di Istana Merdeka dengan perasaan yang campur aduk: antara tepuk tangan yang tulus dan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung tanpa jawaban.
Dua periode Jokowi (2014 hingga 2024) telah menjadi satu etape dalam sejarah demokrasi Indonesia. Menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode sebelumnya, Jokowi datang sebagai pembawah angin segar, dengan janji perubahan sebagai jualan utama. Berlatar belakang seorang wali kota dan gubernur sbelumnya, Jokowi mengusung penampilan baru, yakni dekat dengan rakyat.
Dalam kaitan seolah lebih dekat dengan rakyat, Jokowi dianggap tidak terperangkap dalam politik elit Jakarta. Ia dikenal dengan pendekatannya seperti blusukan, berbicara dengan bahasa rakyat, serta tampil apa adanya tanpa sekat. Ia bukan politisi dengan latar belakang partai besar. Namun justru itulah yang membuat banyak orang percaya (tertarik) padanya. Jokowi menjadi simbol, menjadi harapan baru bagi masyarakat yang lelah dengan politik dinasti dan elit.
Sejak awal kepemimpinannya, Jokowi berhasil menjalankan proyek pembangunan infrastruktur yang masif. Proyek tersebut antara lain, tol Trans-Jawa yang membentang luas, bandara-bandara baru yang membuka gerbang konektivitas wilayah, pelabuhan yang memperlancar logistik antar wilayah, dan terakhir proyek ibu kota baru IKN yang mengundang perdebatan panjang. Proyek infrastruktur ini, yang seringkali menjadi simbol kemajuan, adalah aspek yang tak terbantahkan dalam masa kepemimpinan Jokowi. Di sini, ia mencatatkan sejumlah keberhasilan yang tak bisa dipungkiri.
Seiring berjalannya waktu, harapan itu kerap bertemu kenyataan yang tidak selalu sesuai ekspektasi. Di balik deru mesin konstruksi itu, terdapat luka yang tak sedikit yang menyertai. Harapan akan pemerataan pembangunan sering kali tertimpa oleh ketimpangan sosial yang tak kunjung teratasi. Isu ketimpangan ekonomi, konflik agraria, serta tingginya angka pengangguran dan kemiskinan masih menjadi bayang-bayang yang menghantui pemerintahan Jokowi.
Meskipun program seperti Kartu Prakerja dan bantuan sosial hadir untuk menjawab masalah di atas, banyak yang merasa bahwa solusi itu tidak cukup. Solusi itu terlalu kecil untuk menjangkau akar permasalahan yang sungguh sangat lebih luas. Ini menjadi ironi di tengah klaim pembangunan yang mengagumkan, bahwa negeri ini semakin maju namun realitas rakyat justru makin jauh dari manfaat proyek-proyek itu.
Di ranah politik, Jokowi juga menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah. Di awal kepemimpinannya, ia berusaha untuk menyingkirkan politik oligarki yang selama ini mendominasi kehidupan bernegara. Namun, seiring berjalannya waktu, ia justru harus berhadapan dengan kenyataan bahwa politik Indonesia—dengan segala kepentingan dan komprominya—membuatnya tak bisa lepas dari jebakan jaringan elit yang ada. Koalisi-koalisi besar bersama partai-partai, masih menjadi bagian dari sistem politik lama, mengingatkan kita pada kompleksitas dalam struktur kekuasaan Indonesia yang memang sulit dibongkar dalam waktu singkat.
Inilah kerasnya realitas politik. Tetapi di sini pulalah letak cerdiknya Jokowi. Ia tahu bahwa untuk bertahan dan mewujudkan ambisi-ambisi besarnya, kompromi dengan kekuatan-kekuatan lama adalah keniscayaan. Namun, kebijakan-kebijakan yang diambil tidak selalu memenuhi ekspektasi para pendukungnya. Misalnya, keputusan untuk memilih Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan pada periode keduanya. Keputusan ini memicu perdebatan sengit, karena hubungan masa lalu mereka (Jokowi dan Prabowo) penuh konflik. Banyak yang melihat ini sebagai langkah pragmatis dalam menjaga stabilitas politik, namun bagi sebagian lainnya, ini adalah simbol dari kebuntuan politik yang tidak bisa diselesaikan.
Di tengah sorotan internasional, Jokowi berhasil menjaga posisi Indonesia di tengah gejolak global. Dari krisis ekonomi hingga konflik geopolitik, Jokowi tampil sebagai figur yang mampu menjaga kedaulatan negara tanpa mengorbankan hubungan baik dengan negara-negara besar. Kebijakan luar negeri yang aktif dan kontribusi dalam berbagai forum internasional seperti di Forum G-20 dan ASEAN, menjadikan Indonesia sebagai pemain yang dihormati di panggung internasional.
Namun di dalam negeri, banyak yang menuding bahwa kebijakan luar negeri yang cemerlang itu tidaklah mencerminkan kondisi dalam negeri Indonesia dan masyarakat yang sebenarnya. Kebijakan pembangunan Jokowi di dalam negeri belum menghadirkan kesejahteraan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat.
Di ujung perjalanan kepresidenannya, Jokowi meninggalkan negeri ini dengan lebih banyak tanda tanya daripada jawaban. Apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin yang berhasil membawa Indonesia ke arah kemajuan! Ataukah justru Jokowi menjadi sosok yang terjebak dalam kompromi dan ketimpangan? Apakah warisannya akan lebih diingat oleh rakyat yang merasakan manfaat dari pembangunan fisik yang dibangunnya, sementara tidak dirasakan oleh mereka yang terpinggirkan dalam proses tersebut? Ini adalah pertanyaan besar yang hanya waktu yang bisa menjawab.
Salah satu hal yang tak bisa dipungkiri, Jokowi adalah presiden yang memiliki kedekatan emosional dengan rakyat. Gaya kepemimpinannya yang sederhana dan apa adanya, membuatnya lebih mudah diterima oleh rakyat dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Namun, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kedekatannya dengan rakyat, tetapi juga dari kemampuannya untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Ketika masa kepemimpinannya itu berakhir, kita harus mampu menilai warisan yang ditinggalkan dengan bijak. Pembangunan fisik bukanlah akhir dari segalanya. Di balik itu, ada kesejahteraan sosial, hak-hak dasar, dan keadilan yang lebih mendalam yang harus diperjuangkan. Di ujung masa baktinya, Jokowi mengajarkan kita banyak hal, tentang pentingnya membangun infrastruktur. Namun yang sama pentingnya dengan itu, adalah pentingnya membangun kebijakan yang merangkul seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Di tengah tepuk tangan yang menggema, di balik sorak sorai rakyat, mari kita tetap menyimpan pertanyaan yang tak terjawab itu. Karena sesungguhnya, dibalik setiap senja yang cahaya yang perlahan redup, ada malam yang mengundang bintang-gemintang, yang akan menghadirkan harapan baru di esok pagi hari.[]
Penulis: Pateddungi Topanrita Maqbul (Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta)