EDITORAL
Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah sedang menulis versi terbaru tentang sejarah resmi Indonesia. Apakah yang terjadi dengan sejarah Indonesia saat ini, apakah kurang lengkap, bias, tidak sesuai fakta, tendensius, atau ada penyebab lain sehingga harus dimunculkan versi baru?
Selalu versi baru, resmi pula. Ini sangat serius, ditulis dalam 10 jilid. Akan ditetap menjadi sejarah Resmi Indonesia pada Agustus 2025, atau 80 tahun sejak Indonesi merdeka. Ada angka keramat 8.
Mantan Perdana Menteri Inggris di era Perang Dunia Kedua pernah mengemukakan sesuatu yang kira-kira kutipannya begini, Sejarah ditulis oleh Pemenang. Entah apa yang telah dimenangkan oleh Prabowo sehingga bermaksud menulis sejarah resmi Indonesia. Tapi begitulah bangsa Indonesia, setiap pemenang kekuasaan datang, selalu menulis tentan Indonesia menurut paradigma kekuasaanya sendiri.
Di era kolonial, pemerintah Belanda menyusun sejarah nusantara menurut sudut pandangnya terhadap Nusantara dan kekuasaannya di Nusantara. Begitu pula ketika jaman kemerdekaan, pemerintahan era presiden Soekarno merumuskan sejarah resmi Bangsa Indonesia menurut sudut pandangnya dan sesuai kepentingan kekuasaanya.
Hal yang sama juga terjadi, ketika Soeharto menggantikan era Soekarno. Soeharto mendirikan imperium dengan nama Orde Baru (versi terbaru dan terbaik daripada Orde Lama), sekaligus menyebut era Soekarno dengan nama Orde Lama. Di sini ada perbedaan, Orde Lama gunakan istilah kolonialis, Orde Baru menggunakan istilah penjajah.
Sejarah juga ditulis oleh Orde Reformasi, orde yang mengoreksi total Orde Baru, sekaligus terhadap Orde Lama. Namun sejarah bangsa pada Orde Reformasi ini ditulis secara kerumunan tanpa panduan tunggal dari komposer, dengan begitu banyak partitur independen dan otonom. Tidak resmi, namun sangat memperkaya wawasan sejarah tentang Indonesia.
Maksud utama penulisan sejarah yang dimanatkan kepada Kementerian Kebudayaan ini agar sejarah Indonesia itu netral, inklusif, tidak berisi label negatif seperti penyebutan Orde Lama oleh Orde Baru. Sejarah Indonesia tidak boleh berpihak. Sejarah harus bermuara pada penguatan identitas nasional.
Bisakah sejarah dibuat netral, tidak berpihak, dan obyektif? Di sinilah pentingnya memahami sudut pandang tentang ikhwal yang disejarahkan dan ikhwal pengsejarahan itu sendiri. Simpelnya, meminjam pemikiran yang Hermeneutis, tidak ada pihak yang bisa menulis sejarah yang terbebas dari identifikasi ruang dan waktu yang selalu mendeterminasi penafsiran.
Tidak ada zona di bumi yang stateless (tanpa/bebas dari kekuasaan negara) untuk menulis sejarah. Tidak ada bisa yang bisa menulis sejarah yang tidak teridentifikasi masa penulisannya. Misalnya seseoran berhasil menulis sejarah yang tidak mempunyai tahun penulisan.
Dengan demikian, masa di kemudian hari juga pasti ada akan rezim menulis sejarah tentang bagaimana Presiden Prabowo menulis ulang sejarah Indonesia. Yang tidak mungkin terjadi adalah Presiden Soekarno menulis sejarah tentang Prabowo yang menulis ulang sejarah resmi Indonesia.(Ed)