Kepala Daerah Lemah, Pekerja (Honorer) Kehilangan Pekerjaan

Ilustrasi AI

Ilustrasi Pegawai Kontrak Pemerintah kena PHK. (Dok: berandaindonesia.com, Ilustrasi by AI)

Editorial

PDAM Makassar menghentikan pegawai kontraknya sebanyak 400-an orang. Tahap pertama, ada 146 orang tenaga kontrak yang dipecat. Alasan direksi sementara, perusahaan pelat pemda ini mengalami kerugian. Pada saat yang sama, PDAM Makassar tetap menyetor dividen ke kas pemkot Makassar.

Per 1 Juni 2025, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, memberhentikan penggajian terhadap 2.017 honorer. Alasannya, mereka ini tidak lolos seleksi PPPK (P3K). Pekerjaan dan posisi honorer tersebut digantikan oleh pegawai yang lolos seleksi P3K. Status mereka tidak dipecat (PHK), namun tidak lagi punya pekerjaan dan gaji.

Terhitung Mei 2025, pemerintah kota Makassar memberhentikan tanaga honorer sebanyak 3 ribu orang. Sejumlah 2,700 di antaranya adalah petugas kebersihan. Selebihnya merupakan tenaga teknis, guru dan tenaga kesehatan. Langkah petama adalah menghentikan gaji mereka. Alasan utama pemberhentian massal ini adalah mengikuti instruksi dari pemerintah pusat, dan efisiensi.

Selain itu, diketahui pula bahwa dua lembaga penyiaran publik yaitu dikabarkan TVRI dan RRI melakukan PHK kepada para pekerja honorernya imbas efisiensi anggaran pada Februari tahun ini. TVRI melakukan pemangkasan karyawan yang berstatus kontributor se-Indonesia sejak 4 Februari 2025.

Dalam berbagai kesempatan, menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa efisiensi anggaran yang sedang digerakkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo ini tidak menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan pemerintah yang berstatus honorer. Kemenpan RB juga mengimbau pemda agar tidak melakukan PHK terhadap honorer dengan alasan efisiensi anggaran.

Pemerintah daerah memang tidak punya banyak pilihan selain mengurangi pegawai (honorer). Hanya pemprov DKI yang berani memilih tetap mempekerjakan tenaga honorernya, selain P3K. APBD-nya Rp 91 trilyun. Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat bahkan sempat berkelakar bahwa tidak susah memimpin daerah yang APBD-nya Rp 91 trilyun seperti itu. Kata Dedi, jangankan menggaji pengawai honorer, rumah tangga pun bisa digaji dari ABPD jika sebesar APBD DKI.

Gelombang PHK pegawai pemerintah (dan daerah) tahun ini memang ini sebuah ironi. Saat musim kampanye pilkada 2024 lalu (juga pilpres), semua pasangan calon kepala daerah berjanji mengurangi pengangguran, menciptakan lapangan kerja baru.

Begitu dihadapkan pada obat manajemen pemerintahan yang efisien, justru pegawai pemerintah yang sudah bekerja yang dihentikan dari pekerjaannya. Jika swasta mem-PHK pegawainya, itu di luar kendali kewenangan pemerintah, meski tetap ada tanggung jawab secara tidak langsung. Tapi pemerintah mem-PHK pegawainya sendiri (honorer), itu hal yang ironi.

Kepemimpinan (leadership) pemerintahan yang lemah, yang matematikanya lemah, yang terbiasa malas, yang terbiasa tidak mau susah, memang membutuhkan asistensi selama mengkonsumsi obat “efisiensi”. Kualitas pelayanan publik dan ketersediaan lapangan kerja tidak boleh menjadi korban akibat mengkonsumsi obat ini. Kementerian dalam negeri bisa menjadi pihak berwenang memberikan asistensi.

Bagi kepala daerah atau pemimpin instansi yang kreatif, atau berani tidak mem-PHK pegawai honorernya, tidak memerlukan asistensi ini. Mereka percaya bahwa menjadi kepala daerah itu harus berguna bagi rakyat, bukan menjadi beban bagi rakyat, apalagi sampai menyusahkan rakyat akibat PHK oleh kepemimpinannya.

Negara dan kepala daerah bertanggung jawab mencarikan pekerjaan bagi rakyat. Pemerintahan di daerah harus mensejahterahkan rakyat. Kepala daerah jangan bertindak seperti direktur, mem-PHK pegawai untuk menghemat pembiayaan di kantor.

News