EDITORIAL
Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi terhadap UU No 20 Tahun 2003. Inti dari putusan Putusan MK No. 3/PUU/XXIII/2025, bahwa Pemerintah (Pusat dan Daerah) wajib menjamin pendidikan dasar tanpa biaya, alias gratis. Gratis ini mencakup pada sekolah swasta juga, selain negeri.
Untuk pendidikan dasar, yakni SD (sekolah dasar) yang dikelola pemerintah (daerah), warga sudah lama menikmati dimana anak-anak mereka tidak dipunguti biaya untuk SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) oleh sekolah. Di sebagian besar daerah kabupaten dan provinsi, sekolah negeri untuk tingkat menengah dan atas, juga sudah tidak memungut lagi biaya SPP.
Yang berbeda dari kabar ini, dimasukkannya sekolah swasta ke dalam tanggung jawab pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar. Dalam sejarah sekolah di Indonesia, sekolah swasta dikenal sebagai sekolah berbiaya mahal. Sekolah negeri dikenal sebagai sekolah bersubsidi, makanya tanpa SPP. Kecuali uang Komite sekolah negeri yang kerap 3 sampai 5 kali lipat dari biaya SPP sekolah swasta.
Subtansi putusan MK ini, tidak ada lagi biaya yang dipungut dari peserta didik dimana pun mereka sekolah, di negeri atau swasta. Mereka tidak lagi dipungut biaya. Tak ada biaya apa pun lagi. Berapa pun biaya atau ongkos untuk mengajar dan mendidik peserta didik itu di sekolah, sekalipun itu di sekolah swassta, tidak lagi dibebankan kepada peserta didik. Itu semua menjadi beban pemerintah (pusat dan daerah)
Sebagian sekolah swasta itu berorientasi bisnis, berorientasi laba bisnis. Operasional dan laba bisnis oleh sekolah swasta itu selama ini ditangung oleh peserta didik (terntu saja dari orang tua mereka). Peningkatan kapasitas guru dan staf pengajar, ditanggung oleh peserta didik. Tengoklah sekolah-sekolah yang ada SIT-nya (SIT: sekolah Islam terpadu), sekolah yang pakai metode boarding. Semua pembiayaannya ditanggung oleh peserta didik.
Jika ini ditanggung oleh anggaran pemerintah agar sekolah swasta tidak lagi memungut bayaran dari peserta didiknya, berapa banyak duit yang harus disiapkan pemerintah! Ini juga berarti bahwa keuntungan (laba bisnis) yang dipetik oleh pemilik sekolah selama ini yang berasal dari peserta didik, laba itu dipetik langsung dari anggaran pemerintah.
Untuk sekolah swasta dalam pendidikan dasar, tentu dikecualikan yang dikelola ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU, serta ormas keagamaan lainnya. Gedung dan fasilitas sekolah mereka dibangun oleh ormasnya sebagai induk sekolah. Peningkatan kapasitas pengajarnya juga ditanggung oleh induk sekolahnya. Itu karena pengelolaannya berorientasi dakwah, bukan mengejar keuntungan bisnis.
Selama ini, warga yang anaknya tidak lolos masuk sekolah dasar negeri yang bersubsidi, mereka dihukum dengan terpaksa memasukkan anaknya di sekolah dasar swasta. Di sekolah swasta itu, mereka dipaksa bayar SPP, bayar uang gedung, uang pengembangan pendidikan, dan seterusnya. Itulah sebabnya warga yang ekonominya pas-pasan, sangat berharap anak-anaknya bisa masuk sekolah negeri/pemerintah. Tapi butuh orang dalam (Ordal) untuk lolos PPDB di sekolah negeri.
Apapun yang nanti terjadi saat penerapan putusan MK ini, tentu ini sangat bermanfaat bagi sekolah dasar yang dikelola oleh ormas keagamaan demi tujuan dakwah. Yang dimaksudkan disini bukan sekolah berbasis agama tapi orientasi laba bisnis (keuntungan). Beban finansial ormas keagamaan beralih ke pemerintah. Padahal pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan bagi warga itu memang tanggung jawab negara melalui pemerintah.
Untuk sekolah dasar yang dikelola secara bisnis untuk memperoleh keuntungan bisnis, tentu ini persoalan jika harus mengikuti paket hemat anggaran dari pemerintah. Sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa saat ini sudah bukan semata dilandasi semangat pengabdian untuk itu. Sekarang, misi mencerdaskan kehidupan bangsa itu sudah menjadi bisnis dengan cuang tidak sedikit.
Seorang warga di Jakarta tahun lalu menimpali rekannya bahwa biaya SPP di sekolah dasar swasta anaknya lebih besar daripada UKT seorang mahasiswa di Universitas Indonesia (UI).